Laman

Total Tayangan Halaman

Rabu, 30 Maret 2011

Kasih Ibu ‘PRT’, tak putus asa




“Menjaga, tidak mudah tetapi mempertahankan lebih dari sulit dan membutuhkan perjuangan tinggi”. Hal inilah yang terbesit dalam pikiranku kepada perempuan (seorang ibu) yang mempertahankan dan merawat anak bayi perempuan ketika suaminya justru meninggalkan dalam kondisi mereka membutuhkan kasih sayang dan perlindungan. Alasan materi sudah menjadi hal umum, begitu pula keadaan.  Mungkin kisah nyata ini terjadi pula bagi sebagian dari sekitar kita atau cerita dari kenyataan orang lain, tetapi untuk keluarga yang satu ini bagiku adalah besar dalam memperjuangkan kasih yang begitu tulus tanpa di ucapkan, meski dengan tindakan perlakuan sang ibu diluar kasih ibu yang baik. Sekali lagi ku tekankan bila melihat dan merenunginya bahwa dari sekian banyak yang terperhatikan dan sejauh mataku memandang dengan pengetahuanku terhadap kehidupan sekitar, dialah yang menjadi tolak ukurku bahwa hidup ini adalah perjuangan dan butuh ketabahan. Agama memang sama, pendidikan, materi dan kemampuan serta kemauan setiap orang berbeda… maka inilah yang menjadi tolak ukur aku dalam menilai seseorang terutama  sang ibu dalam membesarkan buah hati serta menjaganya.

Dengan tega tanpa memiliki perasaan bersalah seorang ayah tega meninggalkan buah hati (dengan alasan apapun aku tidak mampu untuk berpikir kepada kebaikan ayahnya, tidak sepatutnya setelah sudah terjadi pernikahan dan hidup bersama dan hadirnya buah hati pergi begitu saja) justru berlabuh dengan kehidupan yang baru dengan perempuan lainnya. Bukan maksudku mendiskriminasikan lelaki tetapi untuk  Ibu bersama bayi yang tak berdosa terlalu tega untuk ditinggalkan. Dia bertahan dengan kondisi yang ada. Ketika bayi meranjak masa kanak-kanak, terlihat jelas bahwa dia memiliki kekurangan dengan kecacatannya, ketidakmampuan berjalan normal dan tangan dengan jari-jari yang tidak sempurna. Meski ada kesedihan, Ibu tetap mempertahankan hidup dengan bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) paruh waktu, dengan pendapatan seadanya dan menharapkan kebaikan tinggal dikontrakan sepetak dan tidur dan peralatan rumah tangga seadanya.

Agar dapat bekerjapun dia meninggalkan hatinya dirumah, sedangkan raganya dipekerjakan untuk orang lain, berharap dan cemas agar anak perempuannya tidak terjadi apa-apa.

            Semakin terlihat jelas, bahwa buah hatinya ternyata memiliki kekurangan berupa tidak dapat berjalan dengan sempurna. Emosi jiwa merasuki ibu sehingga kadang kesadaran dan perlakuannya membuat buah hatinya terluka dengan pemukulan phisik, perkataan tidak selayaknya pun terbesit dan terlontar kepada buahhatinya, hal ini karena kekecewaan kepada keadaan juga suami yang meninggalkan. Tetapi Ibu berkata: “Ibu berjanji akan membesarkan dan menjagamu sekuat tenaga, hingga kelak kamu menemukan laki-laki yang bersedia menjagamu”. Kekhawatiran ibu begitu besar, dia tidak ingin anaknya terluka oleh orang lain, dia tidak ingin anaknya jatuh dalam pelukan atau pernikahan yang tidak bertanggung jawab seperti yang dialaminya.

            Meski sekeliling ada saja yang menjadikan kekurangan buah  hatinya sebagai bahan ejekan, tetapi Ibu tetap menjaga dan membesarkan sekuat tenaganya. Walaupun ada keluhan tetapi kegigihan dan kebesaran jiwanya tetap pada kata kasih dan sayang. Air mata kadang mengalir deras tetapi kepada siapa dia meski memohon peradilan didunia dan menuntut perubahan, hanya berserah dan pasrah terhadap kenyataan dan keadaan. Dia mengerti Tuhan tidak tidur dan ada pembalasan, dia tahu dan mengerti ari dosa dalam mendidik anak dengan kekurangannya.

            Meranjak remaja, karena kekekurangan tidak menutup mata anaknya untuk bekerja seperti ibunya, dia mau membantuku bekerja bantu-bantu. Memang banyak kekurangan kutemukan ketika kami bersama untuk satu team dalam pekerjaan rumah, yang terbesit dalam pikiranku butuh kesabaran besar dalam hidup bersamanya, karena kekurangan phisiknya kadang pikirannya tidak searah dengan tindakannya. Aku berusaha mengerti keluhannya terhadap ibunya, awalnya aku merasakan betapa nestapanya hidup dia dengan kekejaman mamanya dalam emosi jiwa menganiaya dirinya, tetapi kembali dan kurenungkan segala sebab ada akibat.

            Kejadian dan perjalanan hari demi hari dilaluinya dengan meninggalkan cerita untuk masing-masing lembaran hidupnya. Hingga meranjak dan memasuki usia 20 (duapuluh) tahun putri satu-satunya telah dewasa dan mengenal laki-laki, satu diantaranya bersedia akan menikahinya dan menjaganya. Naluri ibu berkata, inilah saatnya dia layak hidup berdampingan dengan lelaki pilihannya. Pernikahan berjalan apa adanya dengan dihadiri kerabat dekat dan Bapaknya berlangsung hikmat. Kini mereka tinggal bersama dalam kontrakan yang ke tiga kepindahannya dengan dihadiri buah hati yang menjadi cucu yang didambakan, tanpa cacat dan begitu manisnya menjadikan keluarga mereka bertambah suka cita. Benar adanya janji Ibu dalam menjaga dan memperjuangkan hak anaknya untuk hidup bahagia kini lengkap sudah bersama lelaki yang berhati tulus mampu menerima kekurangan yang ada dalam kebersamaan.

            Disisi lain, setahun belakangan ini ku tertegun dengan ketabahan Ibu dengan hidup berdampingan di kontrakan 3 (tiga) ruang dengan 3 (tiga) anak remajanya yang sudah memasuki usia dewasa, satu diantaranya adalah pekerja rumah tangga dirumahku. Mereka hidup berdampingan dengan segala yang dimilikinya yang merupakan penompang ketabahannya. Segala sesuatu sebagian dari kita memang tidak ada yang pernah menyangka, penyakit stroke papanya hadir kala mereka membutuhkan sosok ayah dengan kekuatannya. Berbagai cara telah mereka lewati untuk kesembuhan ayahnya, hingga pada akhirnya nasib memintanya untuk perjuang sehingga menjual rumah yang ditinggalinya di tahun 2003 dan hidup dikontrakan yang ditempatinya saat ini. Ibu dengan gigih memperjuangkan hidup bersama sebagai PRT dan didampingi putra-putrinya yang begitu menyayangi kedua orangtuanya dengan sepenuh hati dan penerimaan atas takdir yang ada. Kembali kutertegun dengan guratan ibu, memendam segala keinginannya dengan gigih mengumpulkan kepingan yang dihasilkan bersama untuk memenuhi kehidupannya, kembali aku di ingatkan atas kalimat “no body perfect”, hidup adalah perjuangan.
           
Tetap dihatinya masing-masing menyimpan keinginan untuk kesembuhan ayah terkasih, karena keadaan yang tidak memungkinkan mereka perjuang bersama untuk meraih apa yang diharapkan, dan berserah kepada nasib dan takdir kedepan. Kepasrahan dan doa tetap di panjatkan untuk kebersamaan meski  dalam kekurangan, agar segala sesuatu dapat dipikul lebih ringan.

Levina NyT

1 komentar:

Menghilangkan jejak kebaikan untuk komentar apapun sangat saya hargai.. salam